Tiba-tiba aja aku teringat masa-masa kelas satu SLTP eh… salah Pondok Pesantren (Ponpes) maksudku sekitar 14 tahun yang lalu. Namanya hidup di Ponpes tentu semua harus dilakukan sendiri alias serba mandiri. Mulai bangun sendiri, urus makan sendiri, nyuci sendiri, pokoknya semuanya harus sendiri tanpa bantuan Ortu lagi. Awalnya rada-rada kaget sih, kenapa tiba-tiba saja semua harus “urus sendiri”, aku pun bingung kala itu. Tapi, kebingungan ini dapat dinetralisir dengan melihat kondisi yang ada di sekitar yakni teman-teman se-kamar aja bisa, mengapa aku gak bisa? Ya … khan ?!
Minggu-minggu pertama pengalamanku di Ponpes kujalani dengan sangat tertatih-tatih. Bagaimana tidak, bangun harus jam setengah lima pagi tiap hari, kalo gak mau bangun ya pasti basah. Maksudnya James Bond (gelar yang kami berikan pada Ustadz Jamri wali kamarku kala subuh) akan keluar dari markasnya menenteng pistol air yang siap ditembakkan pada santri-santri nakal and badung tak mau pergi sholat subuh.
Di Ponpes ku santri-santrinya dapat di bagi menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah santri yang hobinya mandi sebelum waktu subuh masuk (takut kalo abis subuh antrian akan sangat panjang di kamar mandi). Kubu kedua yakni santri yang mandi habis tadarusan di mesjid atau di kamar masing-masing (dengan prinsipnya “asiknya mandi rame-rame walaupun antri sampai setengah jam). Tapi aku bukanlah anggota dari kedua kubu di atas. Eiiit . . . Jangan bilang aku gak mandi-mandi ya.
Aku, fajri, dan iqbal (bukan nama sebenarnya takut mereka marah kalo dicantumkan) adalah sahabat karibku kala itu. Teman sekamar dengan lemari bersebelahan satu dengan satu yang lainnya, berkomitmen bersama untuk mengalah untuk tidak ikut-ikutan memperpanjang antrian di kamar mandi, sesuai dengan wajangan Kiai Pimpinan Ponpes waktu penyambutan santri baru bahwa kami harus saling tolong menolong, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi . . .
Berlandaskan poin mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi inilah sehingga kami tidak mau masuk pada dua kubu di atas. Kami meyakini bahwa dengan berkurangnya peserta antrian di kamar mandi akan meringankan sedikit beban kawan-kawan setidaknya, he. he. . . Padahal kami sebenarnya agak malas bersaing sama kakak-kakak kelas yang kadang nguji-nguji keramahan kami pada mereka. Karena di kamar mandi rata-rata junior yang antri akan merasa risih juga apabila ada kakak kelas tiga berada di nomor antrian berikutnya. Biasanya akan ditawarkan dulu pada mereka kalau mau lebih dulu, dan rata-rata mereka dengan mengucapkan terima kasih dan langsung mengambil tawaran yang kami berikan. Pada posisi itu mungkin keikhlasan dalam diri sangat diuji, apalagi gara-gara basa-basi bisa berakibat terlambat datang masuk kelas.
Ternyata pengalaman yang sama juga dialami sohib-sohibku ini. Setelah berdikusi tentang bagaimana strategi serta taktik kita memenangkan persaingan tetap mentok pada tembok keramahan serta basa-basi terhadap senior, tak peduli apakah mandi subuh maupun mandi di pagi hari. Akhirnya, kami sepakat mengalah serta mengikhlaskan, untuk mendahulukan teman-teman bahkan seluruh santri yang ada di Ponpes untuk mandi, baru kami bertiga yang menutup jadwal mandi pagi pada setiap harinya.
Jadi kami tidak lansung mandi habis tadarusan, bisanya kami langsung makan pagi di ruang makan santri sekalian menonton berita pagi atau main bulu tangkis dan kadang-kadang jalan-jalan keluar Ponpes lihat aktivitas penduduk yang rata-rata pergi ke sawah atau lading. Terus balik ke asrama untuk siap-siap pergi ke sekolah, kalo ada PR yang belum kelar kami selesaikan di lokal tercinta. Bisa di katakan bahwa kami orang pertama membuka pintu kelas tiap paginya.
Tepat jam 09.30 WIB bel istirahat berbunyi, buruan balik ke asrama untuk ambil perlengkapan mandi. Waktu yang 15 menit inilah kami manfaatkan mandi kadang masih sempat untuk mencuci pakaian. Kamar mandi yang begitu besar hanya milik kami bertiga tanpa antri dan basa-basi. Walaupun kadang-kadang juga ada cemooh yang datang mengatakan “Ada santri yang pergi sekolah tanpa mandi, iih… jorok”. Hal itu tidak kami tanggapi karena mandi pada waktu istirahat pagi dapat menghilangkan rasa ngantuk saat belajar sampai jam istirahat siang, plus tanpa ada lagi persoalan air macet atau mengucur kecil, ya khan.
Persoalan mengalah ini, tidak hanya kami lakukan pada waktu mandi saja, sector menjemur pakaian pun kayaknya membutuhkan strategi dan taktik yang jitu. Kenapa tidak, dari 800 santri yang mondok di Ponpes tentu akan sering terjadi kehilangan pakaian saat di jemur. Kehilagan pakaian di Ponpes kami ada yang bersifat sementara mungkin kerena terbawa oleh santri lain, atau lupa tempat dimana menjemur tuh pakaian, atau memang lalai sehingga berminggu-minggu masih ada di jemuran tapi dibilang hilang pada teman-teman. Kalau tiga ketegori di atas biasanya pakaian akan kembali pada pemiliknya.
Tapi juga ada sifatnya permanen alias hilang beneran, biasanya memeng sering ada tangan-tangan jahil yang sengaja atau berminat sekali pada pakaian yang notabene bukan miliknya. Biasannya diambil oleh pihak luar Ponpes yang kadang-kadang sering mondar-mandir di lingkungan kami. Karena namanya Ponpes siapa saja boleh berkunjung, dan sering juga tertangkap oleh santri anak-anak penduduk sekitar yang mencoba menilep pakaian kami, tapi biasanya dapat diselesaikan secara kekeluargaan saja oleh pihak pengurus Ponpes. Ada sebuah anjuran dari pihak Ponpes buat santri-santri yang kehilangan pakaian, sepatu, dll diperbolehkan membuat pengumuman dan sebagainya. Apabila dalam dua bulan juga tidak kembali maka harap diikhlaskan saja, itu adalas hikmah ketika kondisi hidup bersama. Oleh karena itu kontrol terhadap barang-barang milik pribadi harus dilakukan secara berkala oleh masing-masing santri.
Selain persoalan pakaian hilang, juga ada problem lain seperti baju yang di jemur jatuh ke tanah akibat hembusan angin atau geser-menggeser posisi pakaian di jemuran. Mending kalau ada kawan-kawan yang berbaik hati tentu akan diangkatnya kembali ke atas jemuran. Kalau tidak ya . . . terpaksa harus dicuci ulang yang kadang-kadang kalau sedang apes jatuh di atas genangan lumpur sehingga akan susah membedakan mana yang lumpur dengan pakaian kita. Terpaksa ini pekaian harus direndam dengan rinso selama setengah hari, kalau seragam sekolah juga harus ditambah dengan bayclean agar kembali warna aslinya.
Menyikapi persoalan ini, kami juga memikirkan strategi sehingga jangan sampai terjebak pada persoalan di atas. Setelah kami analisa ternyata untuk dapat menghindar dari problem di atas jawabannya juga tidak lain adalah mengalah. Mengalah tidak menggunakan jemuran yang telah ada tapi mencari tempat menjemur pakaian baru yang belum terpikirkan oleh orang lain. Setelah melakukan survey ke lapangan untuk mengumpulkan data yang diperlukan, akhirnya ada satu tempat yang paling bagus dan cocok dijadikan sebagai tempat menjemur pakaian kami. Jawaban dari teka-teki ini adalah Loteng Asrama tempat kami menginap. Kebetulan untuk anak kelas satu, kami menempati asrama baru sehingga bagian loteng masih bersih. Dengan memasang beberapa paku pada tulang kuda-kuda atap asrama, kami bisa menjemur pakaian berhanger yang dinaikan dari bawah dengan bantuan sebuah galah (kayu panjang).
Apa yang kami lakukan ini, juga ditiru oleh beberapa santri-santri lain yang juga berpikiran sama dengan kami. Dan mereka tidak malu-malu mengungkapkan kepada kami bahwa itu merupakan ide yang cerdas. Karena dalam perjalannya ternyata pakaian yang dijemur di dalam loteng yang tepat berada di bawah atap seng asrama lebih cepat keringnya dari pada dijemur di tempat biasa. Dari sisi ilmu pengetahuan, hal ini disebabkan suhu dua tempat tersebut yang berbeda.
Pengalama pribadi ini akhirnya saya dapat menyimpulkan bahwa kadang mengalah bukan berarti kita kalah atau lemah. Justru dengan mengalah kita bisa menang. Bahkan bukan menang bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain. Tetapi mengalah dalam hal ini hanya untuk tujuan positif saja bukan mengalah untuk merugikan diri sendiri, karena kita hidup pada zaman yang penuh persaingan dengan bermilyar-milyar kompetitor di dalamnya.
Kantor Baru (Di Cat), 20 Juli 2008