Senin, 14 Juli 2008

"Sibuk” dan “Lapang” dalam Waktu yang Bersamaan, Mungkinkah?


Apakah mungkin seseorang bisa menjadi “sibuk” dan “lapang” dalam waktu yang bersamaan? Merupakan pertanyaan yang sering muncul di kepala dua bulan ke belakang.

Entahlah, mungkin diriku terlalu sibuk dan selalu dikejar-kejar waktu seakan 24 jam dalam sehari terasa begitu cepat berlalu. Ibadah, kerja, kuliah, organisasi, keluarga, persekawanan, bahkan cinta bolak-balik seperti bola pimpong mengisi rutinitas kehidupan yang musti dijalani. Mungkin sudah waktunya untuk flashback ke belakang sejenak dan bertanya, apakah memang aku mempunyai banyak hal yang harus dilakukan? Atau aku-nya saja yang terlalu bersemangat?

Setelah terlalu lama berutinitas alias melakukan pekerjaan yang rutin, diri ini semakin sulit memberikan perhatian penuh pada apapun. Lambat laun baru kusadari bahwa aku mengerjakan semua itu dengan setengah hati. Terkadang diri ini sudah seperti robot yang bekerja sesuai program walaupun tubuhnya sudah lelah tetapi tetap menangkap dan mengakomodir semua peluang yang ada tanpa mempertimbangkan apakah bermanfaat bagi dirinya sendiri.

Ketika kita sudah seperti mesin pasti segala sesuatunya akan terasa hambar. Kita gagal mengangkap nilai-nilai yang terkandung dalam setiap aktivitas yang telah dilakukan. Dan semua ini akan lebih menjengkelkan ketika samar-samar mencurigai bahwa sesungguhnya semua kesibukan ini tidak bermakna, tidak bertujuan, dan tidak ada value di dalamnya.


Sabtu (12/07/08), aku kosongkan waktu tak melakukan apapun, hanya duduk santai di atas sofa sambil membaca buku-biku yang sempat ngambek akibat tak tergubris lebih dua bulan. Akhirnya novel tetralogi Pramudya Ananta Toer buku ke-4 (Rumah Kaca) selesai juga kurampungkan. Tiba-tiba aku teringat ada sebuah buku yang belum sempat terbaca judulnya “The One Who is Not Busy” buah tangan Darlene Cohen. Kayaknya mewakili sekali kondisi yang sedang kuhadapi saat ini.

Sebuah pencerahan baru bagi diri ini dan tawaran solusi yang diberikannya tidak ada salahnya untuk dicoba walaupun menggunakan metode pendekatan Zen Buddha. Buku ini mengajarkan cara mempersempit dan memperluas fokus sesuai dengan kenginan dan mengembangkan fleksibilitasmental untuk mengalihkan fokus dari satu hal ke hal lain. Dengan mengikuti langkah profesional yang ditawarkan Cohen yang akan aku coba bagi kepada rekan-rekan semua yang memiliki persoalan yang sama dengan yang kuhadapi saat ini.

Ada dua pendekatan yang memdasar dalam menciptakan kehidupan yang terarah di tengah tekanan dan kerumitan kerja. Pertama, mengambil istirahat atau jeda. Walaupun kita dikejar tengat waktu, kita harus mengambil waktu jeda untuk beristirahat. Seperti yang dilakukan kabilah-kabilah yang melakukan perjalanan panjang , dari hari ke hari, namun sering berhenti untuk beristirahat. Mereka menjelaskan bahwa waktu istirahat dibutuhkan agar jiwa mereka dapat menyegarkan diri. Dalam ajaran Islam kita diharapkan untuk berhenti sejenak meninggalkan aktivitas yang sedang dikerjakan lima kali (waktu shalat) dalam sehari. Kadang-kadang kita sering mengulur-ulur waktu untuk mengerjakan ibadah wajib ini dengan alasan: “sebentar lagilah, nanggung hampir kelar, toh waktu shalat kan masih panjang, adan sebagainya”. Padahal seruan agar berhenti sejenak untuk ber-Ubhudiyah telah berkumandang.

Mungkin apabila kita menurutkan panggilan itu segera, melaksanakan shalat tepat waktu akan memperbaiki kondisi psikis kita yang sempat kacau selama beraktivitas sebelumnya. Ketenangan dan ketenraman tiba-tiba saja bersemayam dalam hati. Ditambah adanya perasaan lega bahwa telah mengerjakannya pada awal waktu dibandingkan jika dikerjakan dipenghujung waktu dengan rasa keterpaksaan dan was-was serta penyesalan kenapa tidak dikerjakan dari awal, ya khan?

Mungkin secara konseptual mengerjakan hal ini tampak begitu mudah, tetapi pelaksanaannya akan banyak benturan dan halangan yang akan menyertainya. Hanya dengan kedisiplinan dan komitment yang tinggi perlu ditanamkan dalam diri sehingga semua itu dapat dicapai. Jadi manfaatkanlah waktu untuk shalat yang tidak lebih dari 10 menit ini untuk mengembalikan kondisi psikis menjadi prima kembali.

Selain itu, kita juga dapat menyegarkan jiwa dengan cara di bawah ini:

  • Melakukan meditasi sejenak setelah melaksanakan shalat
  • Menatap ke luar jendela sejenak
  • Menggerakkan beberapa organ tubuh (kaki, tangan, leher serta kepala) selama lima menit setiap jamnya saat mengoperasikan komputer
  • Beristirahat satu hari setiap minggunya
  • Mengambil cuti tahunan untuk berkunjung ke tempat wisata
  • Mandi air panas
  • Melakukan aktivitas olahraga yang digemari
  • Menikmati perjalanan dengan pancaindera(sekedar menikmati indera penglihatan, penciuman, pendengaran, dan perasa)
  • Melekukan meditasi untuk merenungi yang telah dilakukan dan merencanakan sesauatu yang akan dikerjakan sambil berjalan (berjalan sekitar 2 km sampai ke rumah di waktu pulang kerja)
  • Sadar dalam menyantap makanan (kesadaran ekslusif dalam menggigit, menguyah, mengecap, dan menelan merupakan fokus tunggal)
  • Dan cara-cara lain yang sejenis.

Tidak ada “satu telpon lagi, satu laporan lagi, atau satu surat lagi”, melainkan persoalan menghentikan apapun yang sedang kita lakukan dan menghormati saat istimewa ini. Jika kita tidak mempunyai titik mula dan akhir yang pasti, kita akan kesulitan menghormati semangat pembaharuan ini.

Pendekatan kedua adalah melakukan penyertaan simultan. Kita dapat menjaga kesegaran jiwa dengan melakukan apa pun yang perlu dilakukan dengan sepenuh hati dan pikiran. Hal ini dapat dilakukan sepanjang waktu atau setidaknya cukup bisa membuat pekerjaan dan kehidupan lebih menyenangkan serta mengekspesikan sifat bebas kita dari lubuk hati yang terdalam.

Merupakan sebuah paradigma yang salah kalau kita menggambarkan aktivitas merupakan sumber dari berbagai kecemasan tentang betapa sibuknya kita. Diantaranya, kita sering membagi-bagi aktivitas kita ke dalam kategori mental yang tidak berguna seperti sibuk / tidak sibuk dan penting / tidak penting. Berhentilah memenggal waktu menjadi potongan-potongan yang membuat stres, menjadi mendesak / tidak mendesak, biasa saja/ mendalam, atau mengasikkan/ membosankan. Jika kita mengetahui cara mengatasi atas segala sesuatu yang kita lakukan, maka hidup kita dapat berjalan dengan kualitas yang tidak mendua dan leluasa.

Bersambung . . .

Tidak ada komentar: