Selasa, 13 November 2007

Pahlawan Tidak Pernah Dilahirkan

Seorang suami bekerja keras setiap harinya, banting tulang, mencari nafkah demi tercukupinya kebutuhan hidup keluarganya, ia menjadi pahlawan bagi istri, anak, dan keluarganya. Seorang Guru bekerja dengan ikhlas mencerdaskan anak didiknya juga pahlawan, bukan saja bagi murid-muridnya melainkan pula bagi negara/bangsa karena kontribusinya menyiapkan generasi penerus yang cerdas dan tangguh.Seorang perempuan yang dengan penuh kesabaran dan cinta kasih sayang mengasuh anaknya agar kelak menjadi anak saleh, juga pahlawan buat suami, anak, dan keluarga bahkan agama.

Begitu pula halnya dengan petani, mereka juga menjadi pahlawan tanpa tanda jasa lantaran profesinya menjamin tersedianya pangan yang dibutuhkan segenap warga masyarakat. Seorang pegawai kebersihan kota bekerja sebelum matahari terbit setiap harinya juga seorang pahlawan karena telah menciptakan lingkungan kota yang bersih dan sehat.

Bahkan seorang perampok mencuri harta dari penindas yang kaya raya untuk dibagikan ke orang miskin bisa berarti pahlawan di mata kaum fakir atau miskin. Jadi, siapa pun sebenarnya dapat tampil sebagai sosok pahlawan. Ada banyak pengertian tentang pahlawan, tergantung konteks, ruang lingkup, dalam hal apa? serta untuk siapa?

Memakai pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah esai yang ditulis di majalah mingguan Time tahun 2005 bertajuk The Making of A Hero, bahwa pahlawan adalah orang (biasa) yang tidak egois dan berbuat sesuatu yang luar biasa. Penghormatan kepada pahlawan tidak harus selalu dilihat hasilnya. Bahkan jika gagal sekalipun, kemauan kerasnya untuk berbuat sesuatu untuk orang lain akan terus dikenang. Jadi, kebesaran seorang pahlawan tidak diukur dari hasil yang dicapai, melainkan kesediaannya berkorban untuk sesamanya.

Kadang-kadang ketika mendengar kata pahlawan, yang terbayangkan adalah sosok pejuang revolusi berpakaian tentara atau “kostum” gerilya, sambil tangannya menggenggam senjata atau bambu runcing. Seperti itulah sosok pahlawan yang tergambarkan pada berbagai monumen/ tugu di berbagai kota, termasuk di Kota Padang.

Ada hal yang menarik ketika penulis di undang mengikuti acara pertemuan mahasiswa se-Indonesia tahun 2004 di Jakarta. Acara tersebut diadakan di kantor Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Jl. Diponegoro Menteng. Kebetulan dekat lokasi acara tersebut ada sebuah monumen yang disebut Patung Pahlawan namun menggambarkan sepasang petani, laki-laki dan perempuan. Karena itulah orang lebih mengenal patung di jalur hijau Prapatan Menteng Jakarta itu sebagai Patung/Tugu Pak Tani.

Monumen pahlawan itu bukan melukiskan seorang jenderal Indonesia, tak menggambarkan seorang pemimpin yang sedang berpidato, dan juga tak melukiskan “orang besar Indonesia” yang memimpin perjuangan negara ini? Tetapi hanya melukiskan sepasang petani.

Baru setelah membaca sejarahnya, bahwa patung tersebut dibangun pada masa Presiden Soekarno dan jika ditengok dari konteks waktunya, 24 Juni 1964, bisa dipahami mengapa sosok tani (dan buruh) dimunculkan sebagai pahlawan. Profil buruh dan tani itulah yang menjadi simbol perjuangan masa itu. Ketika peresmian monumen tersebut Bung Karno menjawab sederet pertanyaan yang diajukannya sendiri. “Di dalam ciptaan saya Saudara-saudara, monumen ini harus melukiskan rakyat jelata, rakyat tani yang biasa, wanita tani yang biasa, rakyat buruh yang biasa, wanita buruh yang biasa,” ujar Bung Karno waktu itu.

Memberikan tempat pada rakyat (kecil) sebagai pahlawan adalah sikap bijak yang tak gampang dengan rela dilakukan orang pada masa sekarang. Dibutuhkan sikap rendah hati dari para pejabat, figur publik dan para pemimpin organisasi, mereka tak ada artinya apa-apa tanpa peran serta rakyat. Figur kepahlawanan memang tak lepas dari ketokohan dan popularitas, namun sesungguhnya banyak pahlawan yang tak dikenal namanya dan tak punya niat untuk menjadi populer, bahkan tanpa pamrih apa pun.

Yang diperlukan sekarang, bagaimana memberikan iklim yang kondusif agar makin banyak lahir para pahlawan yang sesungguhnya, yang berbuat konkret untuk kepentingan orang banyak. Kepahlawanan masa kini tampaknya harus ditemukan sosoknya, tanpa harus menunggu anak cucu menyebut pahlawan terhadap apa yang diperbuat sekarang. Diperlukan penghargaan yang setimpal kepada mereka yang telah dengan jiwa besar berbuat untuk kepentingan orang banyak.

Di tengah iklim budaya yang cenderung hedonis dan indiviualis seperti sekarang, memang dibutuhkan pemberian penghargaan semacam Kalpataru, Upakarti, Pemuda Pelopor, Satyalencana Pembangunan yang selama ini dilakukan pemerintah. Tak menutup mata, pihak swasta juga telah melakukan pemberian penghargaan seperti Yap Thiam Him Award, Adam Malik Award, Ashoka Fellowship, Piala Chairil Anwar, dan sebagainya.

Namun yang tak boleh dilupakan, banyak juga pahlawan yang tanpa nama dan tanpa tanda jasa seperti guru (terutama yang bertugas di daerah terpencil), para pekerja sosial, para pekerja LSM dan sukarelawan penanggulangan bencana dan Palang Merah. Bukan penghargaan yang dengan sengaja direkayasa untuk kepentingan politik dan bisnis semata.

Jadi makna pahlawan tidak selalu diartikan sebagai tokoh atau hero dengan nama besar, maka harus diakui, negeri ini sedang dilanda krisis kepahlawanan. Amat sulit menemukan tokoh yang layak dijadikan panutan, layak diteladani dan diamini tiap kata-katanya, tokoh yang mampu berpikir besar dengan langkah-langkah besar demi bangsa dan negara. Kondisi tambah diperparah oleh keengganan media cetak dan elektronik menyorot/ mengekspos hal-hal yang dapat memupuk dan menumbuh kembangkan jiwa kepahlawanan serta nasionalisme.

Bangsa Indonesia masih punya peluang membangun ulang kejayaannya. Salah satu pilar untuk ini adalah memperkenalkan sosok-sosok kepahlawanan di tengah masyarakat. Masyarakat saat ini memang sangat haus menanti tetesan-tetesan embun kepahlawanan di tengah gersangnya kehidupan. Kita menanti ruang-ruang sejarah diisi oleh orang-orang yang mau berpikir dan bekerja keras untuk negeri ini. Manusia-manusia yang punya kesadaran kuat, bahwa eksistensi dalam hidupnya adalah untuk membangun dan merekayasa sejarah kemanusiaan ke arah yang lebih baik.

Sesungguhnya pahlawan tidak pernah dilahirkan. Pahlawan adalah sesuatu yang diusahakan dan dipelajari. Waktu yang ada dalam sehari adalah infrastruktur bagi seorang pahlawan untuk terus mempelajari dan memperbaiki diri dari kesalahan. Jadi, jangan pernah sia-siakan hari ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Dalam konteks sekarang, diperlukan kemauan dan keberanian berbuat sesuatu yang berharga untuk masa depan, demi kepentingan anak cucu kita nanti.


* Mahasiswa Pendidikan Teknik Elektro UNP
Sekretaris Umum HMI Cabang Padang Periode 2005-2006

Tidak ada komentar: