Jumat, 13 Juli 2007

Artikel Baru 13 Juli 2007

BIAYA KULIAH NAIK,
KOMERSIALISASI PTN DIMULAI !

Oleh:
Ibnu Chalid Bestari*

Ditengah kondisi ekonomi yang masih belum pulih dari krisis berkepanjangan, tingkat keinginan generasi muda untuk meraih pendidikan di perguruan tinggi mulai berkurang. Tidak hanya generasi muda saja yang berkurang gairah menuntut ilmu, namun beban orang tua untuk membiayai pendidikan putra-putrinya ke bangku perguruan tinggi juga akan semakin berat. Sehingga muncul stigma baru “buat apa sekolah tinggi-tinggi, uang habis, toh nantinya akan jadi pengangguran juga”.

Sepertinya dunia pendidikan kita tidak pernah lepas dari masalah. Selalu muncul polemik, mulai dari nasib guru, uang sekolah/SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) yang mahal, insiden soal SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), masalah kualitas dan mutu pendidikan, hingga masalah komersialisasi pendidikan, terutama di perguruan tinggi.

Kasihan sekali buat calon mahasiswa yang akan masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di kota Padang tahun ini. Karena mereka harus menanggung beban biaya pendidikan yang lebih mahal (naik sampai 100 %) dari biaya tahun lalu. Hal ini buah dari menguatnya liberalisasi ekonomi dan kapitalisasi di sektor pendidikan.

Dalam sistem kapitalis, peran negara di minimalisasi, negara hanya sebagai regulator. Sehingga peran swasta pun dioptimalkan. Muncullah istilah-istilah baru yang sebenarnya menipu, seperti otonomi kampus yang intinya negara lepas tangan terhadap dunia pendidikan. Akibatnya, sekolah dan kampus harus jungkir-balik mencari dana. Jalan pintas yang diambil PTN adalah menaikkan biaya pendidikan. Jadilah pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau kalangan menengah ke bawah.

Ancaman komersialisasi menjadi kenyataan ketika perguruan tinggi berubah statusnya menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) yang kemudian diperkuat dengan RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Alasannya, memang kelihatannya bagus seperti meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan jaminan mutu. Namun, praktiknya adalah kapitalisasi pendidikan. Ciri-cirinya seperti peran negara diminimalkan dan pendidikan lebih diserahkan kepada masyarakat. Lagi-lagi yang muncul adalah masalah pendanaan. Perguruan Tinggi akhirnya harus banting tulang untuk mencari sumber pendanaan mulai dari buka bisnis sampai yang paling gampang menaikkan biaya pendidikan (SPP mahasiswa).
Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah dan sulit dijangkau oleh mereka yang berkantong tipis. Alasan yang mendasari terjadinya privatisasi tidak lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah sering dianggap kurang mampu mengelola pendidikan. Akibatnya, lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang.

Muncul rumus baru yakni sesuatu yang berkualitas itu mahal. Tapi kalau begitu hanya orang tertentu saja yang bisa menikmati, bagaimana dengan yang lain yang justru sebagian besar warga negara ini, apa mereka tidak boleh menikmati pendidikan yang bermutu? apakah pendidikan berkualitas hanya bagi mereka yang punya uang? Jawabannya sudah jelas tidak, karena di negara lain termasuk negara tetangga kita pendidikan dapat dirasakan oleh semua orang, kaya maupun miskin.

Pemerintah seharusnya mampu mengupayakan suatu pendidikan yang berkualitas tetapi dapat dijangkau. Ingat masa depan negeri ini ada di tangan generasi muda bukan pada kekayaan yang dimiliki oleh sebuah PTN. Jadi pikirkanlah nasib mereka agar mereka dapat memperoleh pendidikan yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain hingga mereka mampu bersaing di tengah persaingan global. Bukannya menawarkan konsep BHMN PTN yang terkesan ingin lepas tanggung jawab.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah. Namun, bukan berarti hal itu dibebankan kepada masyarakat. Kewajiban Pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya baik kaya maupun miskin (amanat konstitusi negara), dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang bermutu. Saat ini, status PT-BHMN memberikan peluang yang besar untuk memandulkan peran Pemerintah dalam sektor pendidikan. Dana pendidikan akan terpotong hingga tinggal 8% (Kompas, 10/5/2005). Kondisi ini tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang luar negeri.

Kebijakan yang sensitif seperti menaikkan biaya SPP perlu didahului dengan proses pembahasan dan pertimbangan yang matang melibatkan semua unsur termasuk mahasiswa sebagai objek kebijakan tesebut. Apakah sudah dipertimbangkan dengan masak biaya pendaftaran yang ditetapkan PTN tahun 2007 dapat terjangkau oleh sebagaian besar masyarakat Sumatera Barat?

Bagi para pengelola PTN harus berani terbuka dan transparan sehingga tidak ada kecurigaan dan pada sisi lain kebijakannya akan mudah dipahami oleh masyarakat. Karena kebetulan saja tahun ini tidak ada protes atau perlawanan dari mahasiswa, mungkin mahasiswa sekarang adalah dari golongan mampu dan berpunya.

Mahasiswa jangan semata dijadikan objek pendanaan. Persoalan finance perguruan tinggi perlu dicarikan jalan keluarnya, bukannya mempersulit akses masyarakat untuk belajar di PTN dengan menaikkan biaya masuk dan SPP mahasiswa baru. PTN semakin tidak memberikan tempat bagi si miskin, padahal idealnya PTN adalah tempat berkumpulnya anak bangsa yang cerdas dari berbagai kelas, bukan kumpulan anak orang-orang berkelas dengan kapabilitas yang tidak jelas. (Pdg/ 13 Juli 2007)

* Mahasiswa Universitas Negeri Padang

Tidak ada komentar: