Aku pernah mutar-mutar kota Kerawang Jawa Barat dengan becak, setelah lima hari wara-wiri di kota indutri ini mengikuti Intermediet Training HMI tahun 2004. Acara yang diselenggarakan oleh HMI Cabang Karawang ini tinggal satu hari lagi sehingga kalau tidak saat itu melancong lihat-lihat ini kota, kapan lagi?
Merupakan hasil kesepakatan bersama dari beberapa peserta pelatihan bahwa jadwal istirahat sore, kami manfaatkan untuk ngedar keluar dari komplek asrama haji tempat penyelenggaraan acara tersebut. Kami yang berjumlah empat orang ini menyepakati bertualangan dengan becak. Dengan alasan bahwa transportasi becak sama-sama tak ditemukan di kota asal kami masing-masing (utusan cabang Padang, Langsa, dan Kendari).
Entah sudah berapa kilometer jarak ditempuh, baik jalanan menurun dan menanjak semua terlewati, sampai peluh penarik becak jatuh meleleh seperti minyak goreng, demi melepaskan rasa haus kami tentang kota ini. Selain bertugas seagai sopir penutun jalan kami ternyata si abang penarik becak ini merupakan Guide yang baik. Setiap daerah yang kami lalui kita diberi tahu tentang histories plus kejadian-kejadian menarik yang pernah terjadi di situ.
Sampai akhirnya ketika sampai di komplek asrama haji kembali, aku bertanya ke abang penarik becak tadi tentang berapa harus dibayar dari jasa yang telah ia berikan.
Apa jawabnya “terserah adek saja mau ngasihnya berapa !!”
Nah ini dia yang menjadi pokok pembahasan kita kali ini, walaupun dari kaca mata ekonomi perbuatan tadi tidak lebih dari transaksi bisnis biasa antara penjual jasa dan pemakai jasa. Tapi yang aku rasakan bersama teman-teman transaksi ini telah berubah bentuk menjadi transaksi hati. Kecuali jawaban yang diberikan penarik becak tadi dalam bentuk nominal uang sehingga yang lebih kental adalah transaksi bisnisnya.
Yang dicari adalah keridhoan, keikhlasan hati masing-masing, berapa besarnya ongkos becak tadi, tanyalah pada hatimu, berapa kamu ikhlas memberi, namun lihatlah peluhnya yang meleleh itu, bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa bayarlah jasa yang telah diberikan oleh seseorang kepada kita setimpal sebelum keringatnya mengering.
Inilah indahnya transaksi bilamana hati yang dijadikan dasar setiap hubungan antar manusia, tidak hanya kaca mata bisnis yang kadang terasa tak bernurani saja ditonjolkan. Bukankah keadilan itu ada di hati, di alam perasaan dan di dalam diri kita masing-masing dan bukan hanya di alam pikiran saja. Adil menurut pikiran belum tentu adil menurut perasaan, disitulah letaknya keindahan dan harmoni alam kehidupan yang diciptakan Tuhan.
Jadi kuncinya hanya dengan mendengarkan hati “mau memberikan berapa?” Dalam sekejap transaksi bisnis berubah menjadi transaksi hati, LUAR BIASA (bukan sulap bukan pula sihir).
1 Des ’08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar