Teringat sebuah pernyataan klasik Shakespeare “Apalah arti sebuah nama.” Saya kira Shakespeare tidak menafikan pentingnya sebuah nama tapi ingin menegaskan nama atau identitas apa pun yang dilekatkan kepada seseorang takkan lebih diingat daripada tindakan-tindakan orang tersebut. Ambil contoh mungkin orang akan lebih suka memanggil Si Anu dengan Si Dermawan karena tindakan-tindakan dermawannya. Sebaliknya orang mungkin akan menyebut Si Ciluah (licik) kepada orang bernama Dermawan karena tindakan-tindakannya yang memang licik. Bisa jadi pernyataan Shakespeare ini adalah sebuah otokritik bagi kita semua untuk menjaga nama baik kita.
Tapi dalam kehidupan yang bersama ini, kadang panggilan baru muncul dengan tanpa kesengajaan. Seperti pengalamanku waktu di bangku kuliahan dulu. Tiba-tiba saja panggilanku berubah dari “Chalid” menjadi “Uncu”, merupakan gelar yang diberikan mahasiwa baru tahun 2002. Padahal gelar Uncu di Minangkabau adalah panggilan untuk anak paling bungsu dalam keluarga yang sangat bertolak belakang dengan statusku yang merupakan sulung dari empat bersaudara. Mungkin gelar ini diberikan karena aku kelihatan imut dan kecil dibandingkan mahasiswa BP. 2000. Begitu pula teman-teman yang lain, ada yang dipanggil “Gapuak” karena memang agak gendut, “Kari”karena berambut keriting, “Dayak” karena tidak punya kampung, “Borju” entah dasarnya dari mana?, dsb.
Trus, apa hubungannya ya dengan tabel di atas?
Wah, jangan salah mengira bahwa tabel di atas bukanlah tabel unsur kimia lho !
Cuma sekadar hiburan buat kawan-kawan yang belum punya sebutan lain atau pengen punya identitas lainuntuk online atau untuk sebuah nama pena.
Tabel translasi kanji (bahasa/ tulisaan Jepang) kiriman seorang temanku di atas mudah-mudahan dapat membantu.
Panggilanku sehari-hari : CHA-LID-BEST
Sekarang punya panggilan baru menjadi : Mirika Takite Tukuarichi
Silahkan panggil saya TAKITE atau TUKUARICHI
Mantap bukan ?
Jadi tidak perlu repot-repot cari ilham di kuburan kalo hanya untuk buat Nama Pena atau ID e-mail.
Catatan : Pastikan dulu dengan kamus bahasa Jepang arti dari masing-masing kata tsb. Demi baik anda juga, he…
“MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia)”, kata Taufik Ismail, cukup membuat diriku tersentak. Mungkin karena beliau sedang geram melihat perilaku anak bangsa nan salamak paruiknyo sajo. Berbagai prestasi negatif yang telah dianugerahkan oleh masyarakat dunia kepadanya. Mulai negara terkorup sedunia, masih banyak buta hurufnya, sembrawutnya penataan kota, rentan pertikaian berunsur sara, sampai menjadi negara yang melakukan penghancuran hutan tercepat sedunia serta gelar-gelar lain yang kita sama-sama ketahui.
Goethe pernah berkata “awasi pikiranmu karena ia akan membentuk kata-kata, awasi kata-katamu karena ia membentuk sebuah tindakan, awasi tindakanmu karena ia membentuk karaktermu, dan awasi karaktermu karena ia menentukan nasibmu”. Ini menunjukkan bahwa semua yang terjadi di alam materi, merupakan refleksi dari apa yang terjadi di alam fikiran. Sikap egosentris, pragmatis, oportunis, dan sikap acuh tak acuhterhadap keadaan begitu kental terlihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan anak negeri menunjukkan bahwa yang sakit bukanlah jasad / fisik tetapi fikiran (otak).
Main bola “berantam”, pulang sekolah “tawuran”, pedagang di pasar “parang- ladiang”, TNI dan Polisi “bentrok”, antrian penerima zakat “rebut-rebutan”, setiap konser musik “rusuh”, sampai mahasiswa yang notabene kaum terpelajar (orang paling lama duduk di bangku sekolahan) pun tak mau kalah. Gara-gara persoalan sepele sampai saling menghancurkan fasilitas kampus mereka. Contoh kejadian Fakutas Teknik vs Fakultas Ilmu Keolahragaan UNP kemaren, yang ternyata jejaknya diikuti oleh universitas yang lain di seluruh Indonesia. Bak manapuak aia di dulang, tapacak ka mungko sorang, bikin malu almamater saja.
Begitulah gejala-gejala yang terjadi dalam perjalanan kehidupan bangsa ini. Sudah cukup merefleksikan bahwa kerusakan alam fikiran bangsa ini lumayan parah. Apakah ini merupakan buah dari pendidikan masa lalu yang lebih menekankan pada pembangunan fisik material dibandingkan dengan pembangunan mental spiritual bangsa kita ? Ibarat seorang meng-update komputer miliknya, dengan casing baru dilengkapi dengan monitor layar datar keluaran terakhir, tapi tidak disertai dengan meng-instal-nya dengan software yang baru pula. Buat apa mengganti penampilan tampak necis di luar agar tampil seperti orang terhormat, tapi perilaku di dalam tak ikut di-update alias di-instal ulang sehingga virus-virus yang ada juga dapat disingkirkan. Pakaian hanyalah penutup luar saja, dia tidak akan bisa menutupi karakter seseorang yang dasarnya memang tidak berbudaya.
Semua hal yang terjadi ini bisa saja merupakan buah pendidikan masa lalu yang lebih menekankan pada pembangunan fisik material dibandingkan dengan pembangunan mental spiritual bangsa kita. Ibarat orang yang sibuk mengubah pakaian agar bisa kelihatan menjadi seseorang yang terhormat, tetapi perilaku dirinya sebenarnya rendah, maka apapun yang dipakaikan kepadanya akan memperlihatkan perilaku rendahnya itu, sebab pakaian hanyalah sebatas kulit luar, atribut yang kurang bisa menutupi karakter seseorang yang dasarnya tidak berbudaya.
Tapi biarlah begitu dulu adanya, menyadari semua ini sudah merupakan sebuah langkah maju untuk memperbaiki keadaan. Lihatlah sektor pendidikan yang mulai berbenah. Lihatlah kebijakan pemerintah daerah seperti kotapadang lebih menekankan penanaman nilai agama dan moral terhadap generasi muda. Lihatlah mulai seriusnya pemerintah mengganyang korupsi, dan lihatlah bahwa kaum intelektual pun mulai resah melihat keadaan perekonomian negara yang belum juga membaik. Angap saja, saat ini kita semua sedang menelusuri lorong gelap yang belum tahu dimana ujungnya Sudah menjadi resiko kalau berjalan di kegelapan akan tersandung, nginjak kaki teman, panik, slah menyalahkan, dsb. Sikap optimis perlu kita kedepankan, bahwa kita semua akan menemukan cahaya di ujung lorong, yang penting tetap berusaha.
Renungkanlah 63 tahun lebih kita berjalan. meskipun kita terus ditimpa musibah, perseteruan tiada henti, kesalah-pahaman yang sering terjadi, tapi semangat kebangsaan jangan sampai luntur. Meski diberi gelar yang macam-macam, dengan jutaan saudara-saudara kita yang mencari nafkah di negara tetangga terus dilecehkan bahkan disiksa. Padahal, tanpa kehadiran pahwalan devisa ini, tidak mungkin mereka bisa membangun negeri mereka seperti sekarang ini.
Benar kalau mereka jauh melampaui kita secara fiskal, tapi dari segi kultural/budaya kita tidaklah kalah karena dibandingkan negara jiran kita lebih dahulu tercerahkan. Bahkan berkali-kali menjadi daerah jajahan nenek moyang kita (Majapahit, Sriwijaya, samudra Pasai, bahkan Minangkabau). Untuk semua, mari kita berbenah diri.
Meskipun payah tapi menjadi orang Indonesia, hidup begitu bebas dan merdeka. Semua bisa mengekspresikan dirinya seluas mungkin. Kemanapun mau pergi silahkan karena komunikasi mudah, semuanya menggunakan bahasa Indonesia yang sama dari sabang sampai merauke, yang beda cuma dialeknya saja. Tidak seperti tetangga yang lokasinya saja yang di timur tetapi baju budayanya western walaupun orangnya semuanya timur tapi bahasa bukan lagi bahasa ibunya, semua idiom kalau tidak di-western-kan berarti tidak modern.
Banggalah menjadi orang Indonesia, masih bisa hidup senang meskipun kehidupan ekonomi semrawut. Disini musik kita menjadi tuan rumah, disini masakan kita menjadi tuan rumah, disini kelakuan kita yang salamak paruik menjadi tuan rumah, kemanapun wajahmu kau palingkan yang kau lihat Indonesia dengan segala ekspresinya.
Disini teh talua, makan lesehan, rendang, bubur ayam, ketoprak, sampai tempe bacem pun ada. Dari manusia zaman batu sampai manusia ultra modern bisa kita jumpai. Ada ribuan suku dan budaya semua tumlek menyatu di sini dan kalau kita sapa semua bicara dalam bahasa yang sama yakni Bahasa Indonesia.
Pernah suatu kali saya ikut AMT (Achivment Motivation Training) ketika baru jadi anggota HMI.Saya tidak ingat betul siapa nama fasilitatornya kalau tak salah, senior HMI dari Komisariat Pertanian Unand. Pembukaan awalnya sangat menarik dan unik sekali. Dia mengacungkan selembar uang 50 ribuan kehadapan kami, sambil bertanya, “Siapa yang mau uang ini, silahkan tunjuk tangan ?”, hampir seluruh peserta mengacungkan tangannya.
“Saya akan berikan ini kepada salah satu dari Anda sekalian, tapi sebelumnya perkenankanlah saya melakukan ini.”
Uang 50 ribuan tersebut diremas-diremas di depan kami semua sampai seperti baju yang habis dicuci tapi belum disetrika alias sampai basandiang-sandiang.
Lalu bertanya lagi,"Siapa yang masih mau uang ini?" ujarnya sambil menjatuhkan uang tersebut ke lantai dan menginjak-injak dengan sepatunya. Meski masih utuh, kini uang tersebut sudahlah lecek kotor lagi.
"Nah, kalau sudah seperti ini, apakah sekarang masih ada yang berminat dengan uang ini?" Saya lihat kanan-kiri masih banyak teman-teman yang masih mengacungkan tangan.
”Adik-adik, dari fenomena live tadi, kita bisa mengambil sebuah pelajaran penting. Perlakuan apapun yang telah saya lakukan terhadap uang ini ternyata tidak mengurangi nilai nominal dari uang tersebut. Terbukti semua masih mau apabila uang ini berpindah tangan menjadi milik anda, bukan ? Atau anda bawa uang tadi ke kedai tentu tetap akan dihargai sebesar nominal yang tertera pada kertas uang tadi, walaupun setelah anda jelaskan bahwa uang tadi telah diremas dan diinjak-injak oleh saya, ya khan?”
Inti pelajaran yang bisa diambil dari simulasi di atas adalah bagaimana kita menjadi pribadi seperti uang 50 ribuan tadi. Bukankah kehidupan yang fana ini, kita akan tetap berpeluang untuk jatuh, gagal, terkoyak, bahkan berlepotan kotoran akibat keputusan yang kita buat sehingga kita merasa berada pada posisi paling rendah di antara yang lain. Dalam kondisi seperti itu, diri ini merasa tak berharga bahkan tak berarti sama sekali.
Dalam konteks diri sendiri, wajar saja rasa ini muncul setelah melihat kegagalan demi kegagalan yang mendera yang kadang dapat membunuh kebanggaan-kebanggaan yang secara sedikit demi sedikit hingga habis. Jangan berlama-lama berada pada posisi demikian. Cobalah lihat keluar dari diri kita, sebenarnya kita tidak pernah kehilangan nilai di mata mereka yang mencintai kita. Seperti uang 50 ribuan di atas, semua tahu bahwa uang tetaplah uang, dalam setiap digitnya mempunyai nilai walaupun dalam bentuk mulus maupun lecek.
Jadi buat kawan-kawan mengalami kegagalan, janganlah terlalu lama menyesali kegagalan atau kepecundangan yang mendera. Obatnya tidak lain adalah merapatlah kembali kepada orang-orang yang mencintai anda. Jangan pernah lupa bahwa kita semua adalah spesial, karena Tuhan tidak akan pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Apabila hal ini juga tidak merubah keadaan maka kembalikanlah semua pada Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
“Unchu, tolong downloadkan MP3 The Changcuter baru ciek, Uncu khan OL taruih di kantua !”. Begitu steatment memelas adik-adik di Sekber HMI UNP. Semenjak Software Winamp/Windows Media Player, atau ragam yang lain hadir dalam komputer, MP3 player, handphone, dsb. Semenjak itu pula lagu dalam format MP3 didendangkan dan telah menjadi trencenter hari ini. Awalnya MP3 berasal dari CD/VCD asli atau bajakan yang dicopy ke komputer, tapi sekarang tak perlu lagi susah mencari CD/VCD, karena dengan gampang kita men-download lagu baru melalui internet yang kadang kaset atau CD original-nya belum sampai di Kota Padang tercinta. Selain mudah mendownloadnya, mendapatkannya juga dengan gratis.
Mengenai legal atau illegal-nya download lagu via internet? Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Bahkan dikalangan musisi pun sampai hari ini masih terjadi pro dan kontra terhadap persoalan tersebut. Apalagi masyarakat awam yang tidak mau ikut-ikutan bingung, “rancak mikian bareh nan untuak ka dimakan lai”.
Kalau ditanya secara pribadi saya pun juga bingung, masalah pembajakan lagu kayaknya tidak akan bisa kita hindari sekalipun media internet dimusnahkan. Karena mereka akan kembali pada cara konvensional alias dilakukan secara offline. Toh, kita dapat dengan mudahnya mendapatkan CD MP3 di lapak kaki lima Pasar Raya Padang dengan lagu-lagu kompilasi terbaru.
Gara-gara hukum yang tidak jelas membuat kita terombang ambing dalam sebuah ketidakpastian dan asumsi yang salah. Berdasarkan kaca mata hukum pembajakan merupakan suatu kegiatan dimana ada salah satu pihak yang dirugikan dan di pihak yang lain diuntungkan karena kerugian pihak pertama.
Misalnya, satu CD/kaset seorang artis/musisi dibajak atau dilipat gandakan ya… tentu oleh pembajak, tentu ia akan mendapat keuntungan berlipat ganda dari setiap penjualan CD/kaset bajakan tersebut (saya menamakannya pembajakan konvesional). Sedangkan pada pihak artis/musisi tersebut hanya mendapatkan keuntungan dari penjualan satu CD/kaset saja. Hal ini sangat dilarang dan merupakan sebuah pelanggaran hukum, bahkan sekarang para artis/musisi sedang marak-maraknya kempanye anti pembajakan.
Lalu apakah download lagu MP3 di internet adalah sebuah pembajakan? Sampai hari ini saya pribadi belum pernah mendengar ada larangan pemerintah yang secara spesifik mengenai larangan untuk (share/download) lagu di internet. Sehingga bisa dikatakan bahwa tindakan di atas belum masuk dalam kategori pelanggaran hukum. Bahkan telah berbagai cara dilakukan oleh para produsen musik seperti CD diberi protect sedemikian rupa, tapi masih dapat dibajak juga.
Jadi, seharusnya para artis/musisi tidak hanya fokus pada perang terhadap pembajakan konvensional saja! Karena pembajakan cara baru lebih cepat, lebih banyak, bahkan lebih parah, ditambah dengan makin terjangkaunya harga MP3 Player/Ipod membuat penggandaan hasil karya semakin digemari oleh masyarakat. Sekarang hampir sebagian besar penggemar artis, mengenal lagu-lagu si artis dari file MP3 yang di share secara gratis di internet.Tapi, kadang-kadang ini merupakan salah satu strategi dari produser untuk mensosialisasikan karya artis serta untuk mendongkrak pamor sang artis .
Akibatnya, ketika si artis mengadakan konser banyak penggemarnya yang datang. Dan si artis dapat pula diuntungkan beberapa kali lipat! Bila kita melihat fenomena musisi pendatang baru yang terus berdatangan membuktikan bahwa tindakan share lagu di internet bukan merupakan ancaman bagi setiap musisi. Justru mendatangkan berkah dengan makin meningkatnya popularitas mereka.
Malasnya beberapa penggemar membeli kaset/ cd asli adalah: harga yang makin tidak terjangkau, hanya ada beberapa lagu yang bagus, dan tidak ada yang menarik di dalam album tersebut. Sudah seharusnya, pihak artis, produser, dan yang berkaitan mengadakan diferensiasi, jangan hanya berteriak “STOP PEMBAJAKAN”. Selain itu hendaknya produser lebih berinovasi sehingga album aslinya dapat dibeli oleh masyarakat, entah itu dari cover album, bonus hadiah, atau apa saja yang tidak bisa didapatkan di internet.
Ini hanyalah sebuah opini dari seorang yang tidak mengetahui kondisi sebenarnya, dan yang tidak suka download MP3 di internet (hanya keranjingan mendownload video clip di youtube.com).
Aku pernah mutar-mutar kota Kerawang Jawa Barat dengan becak, setelah lima hari wara-wiri di kota indutri ini mengikuti Intermediet Training HMI tahun 2004. Acara yang diselenggarakan oleh HMI Cabang Karawang ini tinggal satu hari lagi sehingga kalau tidak saat itu melancong lihat-lihat ini kota, kapan lagi?
Merupakan hasil kesepakatan bersama dari beberapa peserta pelatihan bahwa jadwal istirahat sore, kami manfaatkan untuk ngedar keluar dari komplek asrama haji tempat penyelenggaraan acara tersebut. Kami yang berjumlah empat orang ini menyepakati bertualangan dengan becak. Dengan alasan bahwa transportasi becak sama-sama tak ditemukan di kota asal kami masing-masing (utusan cabang Padang, Langsa, dan Kendari).
Entah sudah berapa kilometer jarak ditempuh, baik jalanan menurun dan menanjak semua terlewati, sampai peluh penarik becak jatuh meleleh seperti minyak goreng, demi melepaskan rasa haus kami tentang kota ini. Selain bertugas seagai sopir penutun jalan kami ternyata si abang penarik becak ini merupakan Guide yang baik. Setiap daerah yang kami lalui kita diberi tahu tentang histories plus kejadian-kejadian menarik yang pernah terjadi di situ.
Sampai akhirnya ketika sampai di komplek asrama haji kembali, aku bertanya ke abang penarik becak tadi tentang berapa harus dibayar dari jasa yang telah ia berikan.
Apa jawabnya “terserah adek saja mau ngasihnya berapa !!”
Nah ini dia yang menjadi pokok pembahasan kita kali ini, walaupun dari kaca mata ekonomi perbuatan tadi tidak lebih dari transaksi bisnis biasa antara penjual jasa dan pemakai jasa. Tapi yang aku rasakan bersama teman-teman transaksi ini telah berubah bentuk menjadi transaksi hati. Kecuali jawaban yang diberikan penarik becak tadi dalam bentuk nominal uang sehingga yang lebih kental adalah transaksi bisnisnya.
Yang dicari adalah keridhoan, keikhlasan hati masing-masing, berapa besarnya ongkos becak tadi, tanyalah pada hatimu, berapa kamu ikhlas memberi, namun lihatlah peluhnya yang meleleh itu, bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa bayarlah jasa yang telah diberikan oleh seseorang kepada kita setimpal sebelum keringatnya mengering.
Inilah indahnya transaksi bilamana hati yang dijadikan dasar setiap hubungan antar manusia, tidak hanya kaca mata bisnis yang kadang terasa tak bernurani saja ditonjolkan. Bukankah keadilan itu ada di hati, di alam perasaan dan di dalam diri kita masing-masing dan bukan hanya di alam pikiran saja. Adil menurut pikiran belum tentu adil menurut perasaan, disitulah letaknya keindahan dan harmoni alam kehidupan yang diciptakan Tuhan.
Jadi kuncinya hanya dengan mendengarkan hati “mau memberikan berapa?” Dalam sekejap transaksi bisnis berubah menjadi transaksi hati, LUAR BIASA (bukan sulap bukan pula sihir).