Akhir-akhir ini aku dapat hobi baru yakni ngedit foto dengan photoshoop. Menurutku ini adalah salah satu sarana mewujudkan impian-impian yang belum tercapai. Seperti pengen nikmati indahnya Kota Paris, foto bareng dengan bintang sepakbola idola, de el el. Setidaknya impian-impian tersebut setengahnya telah terwujud walaupun hanya dalam dunia semu alias palsu. Dijamin bakalan mendatangkan kepuasan tersendiri ditiap rampungnya satu-persatu foto edit-an tersebut. Gak percaya, silahkan Kawan-kawan boleh coba sendiri.
Ketika lagi milih-milih foto yang pengen diedit, aku nemuin foto-foto ketika ngadain SIRKUMSISI dulu. Sirkumsisi, Apa pula itu? Belum kenal ? Makanya kenalan sana ! Halah, ngomong sama siapa saya ini . . . !
Menurut calon dokter temanku yang bernama Topan, sirkumsisi adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Masih bingung? Itu lho, khitan bahasa orang lamanya, sunat bahasa orang kininya. Baru bisa connect khan?
Btw, buat kamu-kamu yang pingin tahu lebih dalam tentang khitan atau bagaimana cara mengkhitankan, maaf, disini bukan tempatnya. Aku lebih merekondasikan untuk ngorek informasi ke dokter di sekitar rumah anda, karena saya tak berkompeten untuk menjelaskan apalagi mengajarkan, ntar aku dibilang malpraktek lagi. Pada tulisan kali ini aku hanya mau cerita sedikit pengalaman menarik masa lalu.
Sudah menjadi agenda tahunan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Padang kita ngadain sirkumsisi massal gratis bagi masyarakat yang kurang mampu. Biasanya ambil timing kala liburan sekolah anak-anak SD. Jadi panitia sirkumsisi ini ternyata repotnya bukan maen. Mulai dari Hunting Bird (istilah yang dipakai teman-teman kala itu) alias nyari anak-anak yang mau ikut jadi peserta sirkumsisi massal. Menyiapkan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan permintaan teman-teman HMI Komisariat Kedokteran sebagai Eksekutor Bird, sterilisasi tempat eksekusi dan lain-lain.
Sampai juga pada hari yang ditunggu oleh orang tua anak-anak yang telah mendaftarkan diri untuk sirkumsisi massal HMI Cabang Padang. Mereka datang memenuhi undangan tepat waktu. Bertolak-belakang dengan psikis anak-anak calon peserta, namanya anak-anak biasanya ceria tapi kali ini kelihatan sekali bahwa mereka tegang karena cemas menunggu detik-detik eksekusi terhadap ujung anu mereka. Terbayang sudah cerita teman-teman mereka yang lebih dahulu dieksekusi yang kadang melebih-lebihkan keaadaan. Bukannya memotivasi tapi menakut-nakuti sehingga mental mereka mental ciut menghadapi jarum suntik dan gunting calon-calon Dokter tersebut.
Kebetulan pagi itu, aku dapat jatah tugas menjemput empat orang anak calon peserta yang berdomisili di sekitar wisma HMI Jl. Hangtuah Padang yang masih dalam tahap pembangunan sehingga untuk sementara semua aktivitas HMI diungsikan ke Jl. Sawahan Dalam III. Anak-anak tersebut berasal dari kampung nelayan yang tidak jauh dari wisma HMI Jl. Hangtuah. Sesuai perjanjian, mereka menunggu di Kedai Ni Emi yang berada di depan wisma HMI Hangtuah.
Sampai di kedai Ni Emi yang aku temui hanya empat incat anak saja. Aku berfikir ke mana orang tua mereka? Lalu aku bertanya pada salah satunya, ” Diak, orang tuanya mana?”
”Gak bisa ikut Da, mereka sudah ke laut. Tadi mereka yang mengantarkan kami kemari, katanya nanti ada Anak HMI yang akan jemput kami untuk disunat, dan mereka titip blangko pendaftarannya dan blangko kesediaan”, tutur Andi yang sepertinya paling tua di antara mereka.
”Iya Chalid, anak-anak ini tadi juga dititipkan ka Uni, urang gaek-nyo ada yang sudah pergi melaut dan yang lain narik becak di pasar raya sana”, Ni Emi ikut membenarkan mereka.
” Tapi, kalian nggak takut disunat tanpa ada yang menemani?”
”Ah, biasalah itu uda, kami khan sudah besar, sudah boleh pergi sendiri” Nando yang paling kecil aku taksir umurnya baru 7 tahun.
Setelah basa-basi sedikit dengan Ni Emi, kami berangkat menuju Wisma HMI Jl. Sawahan lokasi acara sirkumsisi. Hanya ada dua motor, yang satu lagi ditarik Kemal (Ketua Bidang PPD), terpaksa satu motor tarik bertiga.
Dalam perjalan, Andi yang membonceng di belakangku berkomentar.
”Uda, boleh bertanya tidak?” tuturnya rada ragu-ragu.
”Apa yang ingin kamu tanyakan, tanyakanlah?”
”Uda, apa masih bisa anak usia 16 tahun disunat?”
”Emang kenapa kamu bertanya begitu, Ndi?”
”Soalnya umurku sudah segitu, Uda !!!” jawabnya bimbang.
” APA . . . ?” Kata yang terucap spontan plus satu pijakan dadakan pada rem motor yang kami kendarai yang menyebabkan laju kuda besi tersebut drastis turun menuju berhenti.
”Kok ditanyakan balik Uda, kalau sudah tidak bisa lagi biarlah aku diantar balik saja.” jawab anak itu dengan lesu.
”Kamu tidak bercanda sama uda khan?”
”Ndak bercanda bagai do Da, memang itu yang sebenarnya”. Jawab Nando yang dari tadi hanya diam, mungkin karena tak mau lama-lama terjepit di tengah kami.
”Ya udah, kita tanya pada dokternya saja nanti karena bukan wewenang Uda untuk menentukan kamu boleh ikut atau tidak”. Setidaknya jawabanku cukup menenangkan kegusaran Andi sedikit saat itu.
Sampai lokasi sirkumsisi / sunatan massal yakni lantai dua Mesjid Babussalam Muhammdiyah yang bertepatan di sebelah Wisma HMI Sementara Jl. Sawahan Dalam III. Setelah melalui rapat tim dokter ternyata Andi diperbolehkan untuk ikut sebagai peserta Sunatan massal. Begitu girangnya anak itu, karena sudah sekian lama bermimpi untuk disunat akhirnya menjadi kenyataan juga.
Aku sempat bertanya pada si Andi tentang alasan mengapa ia baru sekarang pengen disunat? Mendengar jawaban anak 16 tahun ini membuat diriku berceletuk dalam hati ”TRAGIS”. Ternyata, Bapak anak ini telah lama menjanjikan ia untuk disunat, bahkan sejak sebelum ia putus sekolah di kelas 2 SD dulu. Sunatnya harus di rumah sakit, karena ada sejenis trauma keluarga yakni adik si Bapak Andi meninggal dunia karena infeksi pada anaunya pasca jadi peserta sunatan massal yang pernah diselenggarakan di kota Padang tahun 1994. Wajar saja sampai sekarang Andi tak jadi-jadi juga disunat karena tidak adanya biaya untuk itu. Andi adalah salah satu catatan miris bagiku dari ratusan anak jalanan yang ada di kota Padang. Ibunya telah kabur dari rumah, sedangkan Bapaknya kawin lagi dengan wanita lain.
Ia tak bersekolah lagi, bahkan sempat ragu menjawab pernah duduk atau tidak di bangku sekolahan? Sehari-hari ia berputar-putar di pinggir pantai Padang sampai pantai Purus. Kadang ngamen sama teman-teman nggaruk uang dari orang pacaran di bibir pantai Padang. Kadang pagi hari bantu orang narik pukek (jaring ikan) agar dapat hadiah ikan yang nanti ditukar menjadi uang atau sebungkus nasi sayur di sebuah rumah makan ampera. Persoalan tidur bisa di rumah atau di jalanan tidak ada yang peduli, toh kalau tidak di rumah tentu si ibu tiri akan lebih senang tuturnya dengan lugu. Begitulah sekelumit cerita nyata tentang anak yang sekarang beranjak tumbuh dewasa.
Kembali ke sirkumsisi, ternyata benar-benar ribet mengelola acara ini. Disetiap sudut ruangan dipenuhi jerit dan tangis anak-anak. Ada juga anak yang ketika sedang proses eksekusi basilonjak dan pengen kabur. Kelihatan sekali teman-teman sang eksekutor sampe kualahan. Kalau sudah begini, butuh beberapa orang panitia lagi untuk megangin kaki dan tangan si anak agar tidak bergerak-gerak sambil menghibur atau menuntun si anak untuk baca dua kalimah shahadat, zikir, surat pendek, atau melantunkan asma’ul husna.
Sempat ada anak yang sewaktu eksekusi teriak-teriak, “Alah, alah mah buk dokter, mambana ambo ha, Sakiiik Mak . . . ! Agh . . .!”.
Juga ada yang jago jurus lari seribu bayangan, sehabis disuntik bius, gara-gara lihat gunting di tangan calon-calon dokter, si anak langsung melompat dan kabur melewati tangkapan maupun sergapan panitia. Wah, yang satu itu memang tangkas, kayaknya berbakat menjadi bintang sepakbola masa depan karena jago ngilik.
Nah, tuh di bawah ada foto-fotonya, sebenarnya sih mau tampilkan secara keseluruhan, takut nanti dikategorikan melanggar UU Pornografi. Jadi mohon maaf kalau hanya beberapa buah saja yang ditampilkan, karena banyak foto rada ekstrim bahkan ada foto anak-anak yang belum sirkumsisi, siapa yang jepret ya? Nakal nih fotografernya …!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar